Sabtu, 04 Februari 2012

Tentang kerusuhan di Timtim baru-baru ini, kepada Majalah UMMAT,
Menristek B.J. Habibie bersabda bahwa "Terus terang sebagai orang intelek
saya hilang respek terhadap mereka itu, karena ternyata tak tahu apa yang
diperjuangkan," Sebenarnya ini bukan untuk pertama kalinya Habibie
ikut-ikutan dalam soal Timtim. Sudah sekitar tiga tahun ini Habibie
bercanda ria di Timor Timur, bukan saja di wilayah yang dicaplok tentara
Indonesia itu, tetapi juga di arena diplomasi internasional, menandingi
Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Dutabesar Indonesia untuk PBB Nugroho
Wisnumurti.
Oleh karena itu bisalah dikatakan, sepak terjang kelompok Habibie
sudah menjarah masuk masalah Timor Timur, titik lemah kalangan ABRI,
saingan beratnya. Kelompok Habibielah yang berada di belakang apa yang
disebut rujuk Timor Timur di London yang diadakan dua kali: yaitu pada
bulan November 1992 dan Desember 1993. Menariknya tentang
pertemuan-pertemuan ini, Menteri Luar Negeri Ali Alatas misalnya, sempat
mengatakan bahwa biar saja orang-orang Timor Timur ini rujuk, bahkan
berunding dalam bahasa mereka, bukan bahasa Indonesia atau bahasa Portugis.
Di balik ucapan yang seolah-olah tulus dan rendah hati ini, Ali Alatas
jelas tahu bahwa yang berada di belakang apa yang disebut rujuk London itu
adalah pihak Indonesia juga. Resminya bertujuan untuk merujukkan
orang-orang Timor Timur yang ada di luar negeri dengan yang di Timor Timur,
sebenarnya bukanlah kebetulan kalau pertemuan ini diadakan di London. Di
situlah Fani Habibie, adik Rudi (B.J.) Habibie, menjabat duta besar
Indonesia. Semua fasilitas diselenggarakannya pertemuan rujuk ini datang
dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di London.
Menjarahnya sepak terjang kelompok Habibie dalam masalah Timor
Timur hanya bisa dipahami kalau dilihat dalam kerangka pertentangan yang
sudah lama ada antara kelompok ini melawan kalangan ABRI. Habibie tergebuk
ketika Try Sutrisno diangkat sebagai Wakil Presiden. Tetapi ABRIlah yang
kemudian harus menelan pil pahit ketika mendapati bahwa sebagian besar
anggota kabinet adalah tokoh-tokoh yang dekat dengan Habibie. ABRI sekali
lagi juga harus melongo menyaksikan kursi ketua Golkar jatuh ke tangan
seorang sipil, Harmoko, yang --paling sedikit ketika itu-- begitu dekat
dengan Habibie. Ketika Munas Golkar berlangsung, Habibie dikabarkan marah
sekali mendengar seorang wartawan yang sempat nyeletuk, "Wah, kalau Harmoko
ketua Golkar maka pada Sidang Umum MPR mendatang Habibie akan menjadi
Presiden." Pemberangusan Editor, Detik dan Tempo juga dilakukan dalam
rangka melindungi Habibie yang nyaris terbongkar ancaman kebangkrutan yang
dihadapi IPTN dan semua proyek mercu suarnya. Yang juga perlu dicatat
adalah sikap ABRI terhadap Aliansi Jurnalis Independen, AJI. Harmoko yang
jelas sangat membenci saingan PWI ini, lewat PWI Jaya berhasil menekan
pimpinan harian The Jakarta Post supaya memPHK wartawan Andreas Harsono,
salah seorang penandatangan piagam pendirian AJI. Sementara itu, ketika AJI
melaksanakan berbagai kegiatan menjelang KTT APEC, ABRI justru
membiarkannya saja. Ketika kemudian 'terpaksa' menangkap Ahmad Taufik, Eko
Maryadi dan Danang ABRI nampaknya sudah malas untuk mengejar-ngejar aktivis
AJI lainnya, padahal sebelumnya ABRI nampak begitu bernapsu untuk
menangkapi semua aktivis saingan PWI ini.
Campur tangan kelompok Habibie dalam soal Timur Timur mulai
berhasil ketika putri Presiden Soeharto, mBak Tutut (dalam kapasitasnya
sebagai ketua badan persahabatan Indonesia Portugal), bersedia bertemu
(bahkan berpeluk-pelukan) dengan Abilio Araujo, tokoh Timor Timur dalam
pengasingan, tokoh yang dituju dalam rujuk London. Pertemuan dengan mBak
Tutut ini berarti tinggal selangkah lagi Abilio Araujo bisa bertemu dengan
Presiden Soeharto, ayahnya. Tetapi di sini ada satu masalah yang punya
makna besar dan penting: sebelum berlangsungnya pertemuan rujuk ini
ternyata Abilio Araujo sudah dicopot dari Fretilin, salah satu kelompok
perlawanan Timor Timur yang oleh Jakarta disebut sebagai kelompok anti
integrasi. Makanya, patut dipertanyakan apakah pertemuan rujuk yang tentu
saja dirancang untuk memecah belah kalangan perlawanan Timor Timur ini akan
efektif kalau mengundang seseorang yang sudah dikeluarkan dari perlawanan
itu sendiri. Bertujuan untuk memecah belah kalangan yang sebenarnya sudah
terpecah-belah, itulah kesan yang sangat mencolok daripadanya.
Salah satu anggapan keliru Jakarta tentang Timor-Timur adalah bahwa
hanya ada satu gerakan perlawanan Timor Timur, yaitu Fretilin. Baik tentara
maupun Habibie menyamaratakan saja Abilio Araujo, Joa=F5 Carrascalao, Xanana
Gusmao, Jos=E9 Guterres, Jos=E9 Ramos Horta, Mari Al Katiri dan banyak lainnya
lagi. Di tahun 70an mungkin hal ini benar, tetapi sementara itu sudah
banyak gerakan perlawanan yang muncul, seperti CNRM. Menariknya,
kelompok-kelompok ini sekarang mengobarkan perlawanan terhadap Indonesia,
sementara dulu kebanyakan diantara mereka justru memuji integrasi Timor
Timur ke dalam Indonesia. Yang lebih menarik lagi adalah pernyataan seorang
pejabat Indonesia terhadap aksi para mahasiswa Timor Timur masuk ke
kedutaan besar Amerika di Jakarta: Provokasi Fretilin! Tanpa menyelidiki
apakah Fretilin benar-benar berperan, pejabat bersangkutan langsung saja
asbun. Di sini jelas bukan lagi salah anggapan, tapi lebih merupakan sikap
keras kepala.
Kenyataan bahwa rujuk London dan yang kemudian menurut pihak
Indonesia dilanjutkan di Burg Schlaining, Austria ini berada diluar
jangkauan PBB sebenarnya makin mempersulit statusnya. PBB --yang tidak
pernah mengakui pem-provinsi-an Timor Timur-- sampai sekarang tetap
merupakan satu-satunya lembaga yang wewenangnya diakui dan diterima, baik
oleh Portugal maupun Indonesia. Dengan demikian, hanya melalui PBBlah
setiap bentuk penyelesaian Timor Timur bisa diterima oleh semua pihak.
Dengan perkataan lain, bisa saja Portugal atau Indonesia atau orang Timor
Timur di dalam negeri dan di luar negeri mengupayakan penyelesaian
sendiri-sendiri, sesuai dengan selera mereka masing-masing. Tetapi, kalau
rancangan rujuk atau penyelesaian itu tidak diakui PBB, maka kecil
kemungkinan akan bisa diterima oleh semua pihak yang bersangkutan.
Apa yang bisa dikerjakan Abilio Araujo setelah bertemu dengan
Presiden Soeharto nanti? Bukankah ia akan makin terkucil saja dari kelompok
perlawanan Timor Timur di luar negeri, yang nota bene cukup berhasil
membatasi ambisi diplomasi Indonesia? Bukankah dengan begitu kerikil Timor
Timur tetap mengganjal sepatu diplomasi Indonesia? Dan yang lebih penting
lagi, bukankah dengan demikian gerakan perlawanan Timor Timur di luar
negeri makin bersatu saja untuk makin terus merepotkan ambisi diplomasi
Indonesia? Setelah pertemuan itu paling banter Abilio Araujo hanya bisa
melanjutkan bisnisnya di Timor Timur. Dan memang inilah yang nampaknya
ingin dicapai oleh Abilio Araujo setelah bertemu dengan Presiden Soeharto
nanti: membuka usaha di Timor Timur (dan tidak akan mengherankan kalau ia
kemudian berkongsi dengan mBak Tutut).
Di lain pihak, dengan aktif berdiplomasi di luar negeri ini, bisa
juga dibilang kelompok Habibie sudah lumayan maju katimbang kelompok ABRI.
Dengan hanya bisa mengangkat senjata dan menembaki orang-orang Timor Timur,
peristiwa besar terakhir November 1991, membuat orang cenderung untuk
berpikir jangan-jangan ABRI hanya menimbulkan masalah pada sepak terjang
diplomasi Indonesia di luar negeri.
Kalaupun ABRI sudah menempuh langkah diplomasi internasional,
seperti yang dikerjakan oleh mantan Atase Pertahanan KBRI di Belanda, yaitu
Kolonel Rusdi bersama anak buahnya wartawan harian Suara Pembaruan Petrus
Suryadi, maka itu tidak lebih dari kasak kusuk atau main intel-intelan yang
tidak membawa hasil kongkrit. Selain itu, juga patut dipertanyakan apakah
langkah Rusdi ini mencerminkan garis kebijakan ABRI. Kalau melihat begitu
amatiran dan improvisatorisnya tindakan mereka, orang memang jadi
bertanya-tanya jangan-jangan ini cuma langkah pribadi Rusdi untuk mencari
selamat ketika kembali ke Jakarta. Apalagi karena BAIS, tempat asal Rusdi,
sudah disederhanakan menjadi BIA, dengan banyak kolonel kehilangan
pekerjaan. Kini terbukti, dengan diangkat menjadi direktur B BIA,
langkah-langkah Rusdi itu sudah menyelamatkan dirinya.
Nah, kalau sekarang Habibie dan kelompoknya sudah berhasil
mempertemukan Presiden Soeharto dengan salah seorang tokoh Fretilin yang
sudah dipecat, maka, pertemuan ini jelas semata-mata bertujuan bagi
publikasi dalam negeri. Dengan pers yang sudah begitu jinak, maka nanti
rakyat Indonesia akan dipersilahkan menonton para pejabat yang beronani,
"Kita berhasil merangkul (tokoh) Fretilin." Tentu saja tidak akan ada satu
mediapun yang berani mempertanyakan siapa Abilio Araujo ini dan apa
perannya dalam Fretilin. Forum Keadilan edisi 22 Desember bahkan memasang
judul "Sayalah pemimpin Fretilin" untuk wawancaranya dengan Abilio Araujo,
tanpa secuilpun menyoroti kenyataan bahwa ia sudah dipecat dari Fretilin.
Sampai di sini bisalah dikatakan bahwa walaupun pertemuan ini tidak
akan efektif, tetapi juga tidak akan membawa kerugian yang berarti bagi
Habibie dan kawan-kawannya. Dengan perkataan lain, walaupun nanti pertemuan
ini akan membawa hasil yang tidak diharapkan, yaitu tidak terpecah-belahnya
kelompok perlawanan Timor Timur di luar negeri, tetapi akibatnya juga tidak
akan terlalu merugikan Habibie dan kelompoknya.
Di lain pihak, patut dipertanyakan, mengapa Habibie harus menaikkan
harga kapal eks Jerman Timur dari 12,7 juta dolar menjadi 800 juta dolar?
Mengapa pula presiden Soeharto memerintahkan untuk memindahkan dana
penghijauan sebesar 400.000 dolar kepada IPTN? Jangan-jangan ini bukti yang
makin jelas bahwa semua proyek mercu suar Habibie itu menumbuk
kebangkrutan. Ketika nanti makin terungkap bukti-bukti bangkrutnya semua
proyek mercu suar Habibie (bersama proyek IPTNnya), dan diperparah dengan
kenyataan bahwa pertemuan dengan Abilio Araujo ini tidak membawa hasil,
patut diragukan apakah Presiden Soeharto akan terus memihak Habibie. Dengan
perkataan lain, campur tangan Habibie dalam masalah Timor Timur ini bisa
jadi merupakan main judi yang cukup riskan, dengan taruhan kedudukan
sebagai anak emas Presiden yang selama ini dinikmatinya.
Yang justru makin nampak tidak berbuat apa-apa atau tidak bisa
berbuat apa-apa dalam memperbaiki citra Indonesia di luar negeri adalah
ABRI. Ini proyeksi ketiga. Kalangan yang paling terpojok sejak banjir darah
Santa Cruz November 1991 tak pelak lagi adalah ABRI. Dari Markas Besar
Cilangkap juga tidak nampak adanya langkah ataupun taktik dan strategi yang
cukup berarti untuk memperbaiki citra ABRI, terutama di pentas
internasional. Ada kesan ABRI malah membiarkan "tugas kotor" diplomasi
dalam rangka menghadapi kecaman internasional dan berupaya memperbaiki
citra internasional Indonesia itu, untuk diserahkan saja kepada Departemen
Luar Negeri. Di pihak lain, ABRI malah harus menanggung dicopotnya Pangdam
Udayana Mayjen Sintong Panjaitan dan Pangkolakops Timor Timur Brigjen
Rudolf Warouw tanpa bisa berbuat apa-apa.
Soal Timor Timur dari dulu memang selalu membawa korban pihak ABRI.
Pangdam Jaya, Mayjen Hendropriyono yang hanya memegang jabatan itu selama
18 bulan --normalnya minimal dua tahun-- dicopot hanya sepuluh hari setelah
para mahasiswa Timor Timur masuk ke dalam kedutaan besar Amerika Serikat.
SK Pangab tentang pencopotan Hendro yang bertanggal 22 November 1994 itu
berarti bahwa ketika dikeluarkan para mahasiswa Timor Timur belum lagi
meninggalkan kedutaan besar Amerika. Maklum, pemberitaan aksi mereka sempat
membayang-bayangi pemberitaan KTT APEC yang seharusnya menaikkan citra
internasional Indonesia. Dan wartawati The New York Times begitu kurang
ajar untuk mengajukan pertanyaan soal Timor Timur kepada Presiden Soeharto.
Timor Timur kembali terbukti merupakan titik kelemahan ABRI.
Di Timor Timur sendiri makin terbukti bahwa para pemuda wilayah ini
tetap gigih melawan kehadiran ABRI. Di sini terlihat bahwa langkah yang
ditempuh ABRI di Timor Timur dengan mengandalkan kekerasan, intimidasi dan
sejenisnya ternyata sudah gagal total. Seperti sudah terbukti dalam kurun
waktu 19 tahun Timor Timur diprovinsikan, ternyata generasi mudanya bukan
malah bangga sebagai generasi muda Indonesia, tetapi malah mereka terus
berdemonstrasi dengan berbagai macam tuntutan yang dampaknya pada wilayah
mereka lebih jauh katimbang hanya sebagai provinsi ke 27. Inilah tantangan
yang sangat serius terhadap tekad ABRI sebagai satu-satunya penjaga gawang
persatuan Indonesia. Segenap dana pembangunan yang konon sudah dikucurkan
ke Timor Timur tahun-tahun belakangan jelas menjadi percuma saja dengan
berlanjutnya kekerasan ini.
Seandainya dalam 19 tahun itu ABRI melancarkan pendekatan lain,
yang sama sekali tidak menggunakan kekerasan atau intimidasi, (yang
tentunya banyak macamnya), bisa jadi para pemuda Timor Timur ini sudah
merasa tidak perlu lagi atau tidak ada gunanya untuk mempermasalahkan
status daerah mereka. Seolah tidak sadar bahwa kebijakan terornya sudah
gagal, ABRI tetap terus-terusan saja mengulang-ulang cara yang sudah
terbukti tidak jalan ini. Kekerasan sudah lama terbukti tidak jalan, baik
itu di dalam negeri, apalagi di hadapan khalayak internasional karena
berbagai macam kritik, sampai-sampai Menteri Luar Negeri Ali Alatas sendiri
menyebut Timor Timur sebagai kerikil yang mengganjal sepatu diplomasi
Indonesia, sebutan yang bisa ditafsirkan --walaupun mungkin secara tidak
langsung-- sebagai sindiran terhadap kalangan tentara.
Sebagai penutup yang paling menarik sekarang adalah terus mengamati
langkah apa yang akan diambil baik oleh ABRI maupun kelompok Habibie dalam
melanjutkan persaingan mereka - persaingan yang nampaknya akan membawa
dampak atau bahkan sangat menentukan masa depan politik Indonesia. (Ditulis Oleh Agustina W. Sasana)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Gudangrusak.com © 2010