Sabtu, 04 Februari 2012

Adeus Timor

Tahun 1512, orang Portugis pertama sampai di Maluku. Selanjutnya dengan Solor sebagai pelabuhan transit, ekspedisi dagang Portugal lalu menjangkau pulau-pulau di sekitarnya, termasuk Timor. Nahkoda Antonio de Abreau diperkirakan sebagai orang portugis pertama yang mendarat di pulau Timor.
Kedatangan orang-orang Belanda sebagai gabungan pedagang yang lebih agresif (VOC) sejak pertengahan abad ke-16 mendesak keberadaan Portugal. Satu demi satu koloni Portugal di Maluku, Flores, Solor, Alor dan lainnya jatuh ke tangan Belanda. Akhirnya berdasarkan perjanjian Belanda-Portugis yang terakhir maka sejak tahun 1904, Portugis hanya memiliki Timor.
Secara administrative, Portugal mulai menancapkan kekuasaannya di tahun 1665, saat “Vice Rei Portugia” (Raja Muda Portugis) yang berkedudukan di India mengangkat Simao Luis sebagai Gubernur Jenderal Timor yang pertama. Ia berkedudukan di Lifau. Pada tahun 1768, ibukota dipindahkan ke Dili. Tahun 1844 pemerintahan Timor-Portugis pernah dijadikan satu dengan Makau, namun tahun 1896 dipisahkan kembali.
Sebagaimana di daerah-daerah jajahan yang lain, pemberontakan terhadap penguasa colonial asing merupakan suatu hal yang lumrah terjadi. Di tahun 1788 terjadi perlawanan rakyat yang merata di seluruh Timor dengan pusat pemberontakan di Belu (Atambua) dan Maubura. Dan di tahun 1893 terjadi lagi pemberontakan di Maubura, Ermera, Atsabe, Bobonaro, Aileu dan Maubise sehingga Portugal mengerahkan seluruh tentaranya dan dibantu oleh raja-raja yang setia padanya.
Saat itu pertama kali meniru sistem pengepungan Jenderal De Kock waktu memerangi kaum Paderi di Sumatera Barat, yaitu dengan menggunakan sistem stelsel dengan mendirikan “postos militares” yang mana satu sama lain dihubungkan dengan menggunakan pesawat telephon. Peperangan yang berlangsung hingga 1898 menyebabkan Portugal kehilangan dua orang penting, Arbiru dan Francisco Duarte.
Dalam tahun 1900 dilancarkan suatu gerakan militer yang disebut “Pacificatie” dengan mengadakan pembersihan total terhadap sisa-sisa perlawanan rakyat di bagian tengah dan timur yang berlangsung terus menerus sampai tahun 1911. Namun pemberontakan terbesar Portugis muncul pada tahun 1912-1913 di seluruh Timor, dengan korban tewas dari pihak rakyat Timor kurang lebih sebesar 3500 jiwa dan di pihak Portugis sekitar 300 orang tewas. Setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi perlawanan bersenjata hingga perang dunia ke dua.
Ketika Jepang mendarat di Timor tanggal 19 Februari 1942, mereka tidak mendapatkan perlawanan yang berarti dari tentara regular Portugis, sehingga pasukan gabungan Australia-Belanda mendaratkan pula pasukannya di Timor. Australia sendiri mengirimkan unit khususnya “Sparrow Force” yang melakukan pertempuran secara bergeriliya di pulau Timor.
Setelah kemenangan sekutu atas Jepang pada perang dunia ke dua. Portugal mengirimkan tentara dari Mozambik dengan membonceng tentara sekutu menuju Timor pada tanggal 29 September 1945. Semenjak itu status resmi Timor-Portugis tidak lagi koloni atau daerah jajahan, melainkan Provinsi Seberang Lautan dari Negara Portugal.
Pada dekade 1960an terjadi pergantian kekuasaan, Salazar jatuh dan naiklah pemerintahan Marcelo Gaetano. Pergantian pemerintahan itu mendorong terjadinya liberalisasi di bidang politik dengan diperbolehkannya didirikan partai dan organisasi politik, yang mana di tahun-tahun sebelumnya hanya satu partai politik saja yang boleh berdiri yaitu “Accao Nacional Populer” (ANP) yang ketua kehormatannya adalah perdana menteri. Semenjak itu Timor-Portugis memiliki wakil (2 orang) di parlemen pusat di Lisabon.
Meski terjadi liberalisasi politik di Portugal, keadaan di Timor-Portugis sangatlah berbeda. Rakyat Timor-Portugis tetap tak memiliki hak politik apapun. Termasuk dengan terpilihnya Americo Deus Rodrigues sebagai presiden Portugal untuk masa jabatan yang ketiga (1972-1977) untuk masa jabatan yang ketiga. Dengan perkataan lain, Portugal akan tetap mempertahankan daerah jajahannya sebagai “bagian integral Negara Portugal”. Pada saat itu yang menjadi Gubernur Timor Portugis adalah Fernando Alves Aldeia yang dilantik pada tanggal 26 Februari 1972.
Kondisi ini juga diceritakan oleh seorang wartawan berkebangsaan Belanda, Schumacher yang masuk ke Timor-Portugis di awal tahun 1973 melalui pintu Indonesia, yang menceritakan betapa buruknya penindasan terhadap penduduk pemerintah Timor-Portugis terhadap rakyat asli Timor. Tulisan tentang itu dimuat di harian “De Standar” (Belgia) tanggal 14 April 1973 di bawah judul “Timor Lisboa Leelijk Stiefkind”. Beberapa bulan kemudian “The Asia Magazine” edisi 12 September 1973 memuat judul “The Colony Where Time Stands Still in Portuguese Timor”.
Aldeia mengundang Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), El Tari pada tanggal 28 Februari hingga 2 Maret 1974 dalam rangka pembukaan pasar malam di Dili. Ada beberapa peristiwa yang menarik ketika El Tari berkunjung kesana, yaitu beberapa rakyat Timor menyambut dengan hangat kedatangan El Tari sambil memajang spanduk yang bertuliskan,
“Selama 500 tahun di bawah Portugal, hanya 1% saja rakyat yang bersekolah, Serahkan Timor-Portugis kepada Indonesia atau Australia, viva El Tari !”
Peristiwa itu kemudian menjadi perhatian “Direccao General de Segurance (DGS)” atau Polisi Rahasia Portugis yang ditakuti rakyat Timor-Portugis yang dulunya bernama “Policia Internacional e Defesa de Estado (PIDE)”
Tanggal 27 Maret 1974 terjadilah “Revolusi Bunga” di Portugal, hal ini menyebabkan kelompok junta militer di bawah pimpinan Spinola mengambil alih kekuasaan Gaetano. Pemerintahan junta militer kemudian membubarkan ANP dan mengumumkan bahwa Portugal maupun daerah-daerah Seberang Lautan berada di bawah kekuasaannya. Satu hal yang menguntungkan bagi daerah-daerah Seberang Lautan seperti Mozambik, Anggola, Timor dan lainnya bahwa mereka akan diberikan kesempatan menentukan nasib sendiri dengan cara pemungutan suara (plebisit).
Bak gayung bersambut, partai-partai baru pun muncul di Timor Portugis. Setidaknya ada 3 partai besar, yaitu : Uniao Democratia Timorence (UDT), Associacao Social Democrata Timorense (kemudian dikenal sebagai Fretelin) dan Associacao Popular Democratica de Timor (Apodeti)
UDT didirikan pada tanggal 11 Mei 1974 di bawah pimpinan Carrascalao. Tujuan partai ini adalah tetap bergabung dengan Portugal. Umumnya anggota partai ini adalah terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki kedudukan kuat di pemerintahan (kebanyakan Timor-Putih), raja-raja pribumi, pemilik perkebunan dan sebagainya..
ASDT sendiri didirikan pada tanggal 14 Mei 1974 dengan tujuan kemerdekaan Timor-Portugis dari Portugal. Tokoh-tokohnya antara lain Xavier du Amaral dan Amaral. Xavier sendiri pernah memuji Indonesia dengan mengatakan “The Big Brother”.
Apodeti yang didirikan para mantan aktivis pemberontakan Viqueque 1959 dibentuk pada tanggal 27 Mei 1974. Aspirasi kelompok ini adalah memerdekakan diri dari Portugal dan bergabung dengan Indonesia karena persamaan latar belakang sejarah dan cita-cita. Tokoh-tokohnya antara lain : Osorio Soares (seorang guru yang kemudian dibunuh Fretilin) dan Arnaldo dos Reis Araujo (Gubernur Timor Timur pertama).
Pada bulan Juni 1974 Apodeti mengirimkan manifesto politik kepada Presiden Soeharto yang isinya sebagai berikut,
“Atas kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Portugis, maka kami pendiri Associacao Popular Democratica Timorense yang menghendaki pengintegrasian Timor Portugis ke dalam Republik Indonesia, dengan ini menyampaikan salam hormat kami kehadapan Bapak Presiden dari suatu bangsa besar Indonesia ttk Salam hormat kami ttk habis.
Apodeti Dili”
Tidak berselang kemudian, Radio Australia menyiarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri Indonesia, Amir Machmud, bahwa Indonesia bersedia menerima integrasi Timor-Portugis, apabila rakyat Timor-Portugis menghendaki.
Pernyataan Menteri Dalam Negeri itu membuat Ramos Horta kecewa, karena awalnya Indonesia dapat diharapkan menjadi batu sandaran bagi ASDT untuk memperjuangkan kemerdekaan Timor-Portugis. Ia (Ramos Horta) menuduh Konsulat RI di Dili-lah yang menjadi biang keladi perkembangan politik yang tidak diharapkannya itu, antara lain karena dinilai dekat dengan Apodeti.
Menyikapi perkembangan politik terbaru, ASDT mengubah haluan ideologi dari Sosial-Demokrat menjadi revolusioner (Komunis) dan mengubah namanya menjadi “Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente” alias “Fretilin” guna mendapatkan dukungan finansial dan senjata dari Cina ataupun Uni Soviet. Tanggal 11 September 1974 datanglah 3 kader senior Partai Komunis Portugal, yaitu : Carverino, Abelio dan seorang wanita Guilhermina untuk melakukan kegiatan kaderisasi/agitasi/indoktrinasi di dalam tubuh Fretilin. Bersamaan dengan itu Cina dan Uni Soviet saling berebut pengaruh di Timor Portugis.
Beberapa bulan kedepan suasana di Timor Portugis semakin menegangkan, aksi demonstasi antar partai politik yang mencoba mendapatkan suara dari rakyat Timor berujung pada perkelahian brutal bahkan pembunuhan. Tanggal 18 November 1974, Portugal menunjuk Lemos Pires sebagai Gubernur Timor-Portugis yang baru. Dan tak lama berselang Mota ditunjuk sebagai Kepala Kabinet Urusan Politik.
Pires dan Mota pada setiap kesempatan berbicara pada seluruh partai politik yang ada tentang perlunya ketentraman dan keamanan untuk mendukung proses “evaluasi politik”. Dan mereka menjanjikan adanya pemilihan umum secara langsung dan bertahap. Pemilu tersebut akan dimulai dari Lautem pada tanggal 20 Mei 1975 dan diperkirakan berakhir pada bula Juni 1975.
Untuk meredam gerakan Apodeti yang semakin membesar, UDT dan Fretilin dengan dukungan Pires berkoalisi pada tanggal 20 Januari 1975. Namun terasa koalisi itu sangat cair dan lemah, Pandangan kedua partai politik itu berbeda bahkan bertentangan. UDT sangat anti komunis, dan menaruh curiga pada Fretilin, jika mereka menang pasti mereka akan dilibas habis oleh Fretilin. Namun demikian koalisi itu menjadi beban berat buat para pengikut Apodeti.
Sekjend Apodeti, Jose Osorio Soares, kemudian mengirimkan teleks kepada Sekjend PBB, Kurt Waldheim, yang berisi tentang prinsip Apodeti yang menginginkan menjadi provinsi ke-27 Republik Indonesia. Teleks tandingan pun dikirim oleh UDT-Fretilin yang mengklaim bahwa 95% rakyat Timor berada di pihak mereka. Keadaan semakin tidak menentu. Dan untuk menghindari kekerasan dari pihak UDT-Fretilin yang dibantu didukung oleh Pires, banyak rakyat Timor melarikan diri ke Nusa Tenggara Timur
Dukungan Pires terhadap tak lepas dari instruksi pemerintah Portugal yang telah dikuasai oleh sayap kiri semenjak pimpinan Revolusi Bunga, Spinola, mengundurkan diri dari pemerintahan. Instruksi itu intinya berisi bahwa Pemerintah Portugal tetap akan berkuasa di Timor-Portugis dan menunda pemilihan umum sampai Apodeti dibubarkan baik secara paksa maupun tidak.
Sejalan dengan hal itu, Pires membentuk Komisi Dekolonialisasi Timor (KDT) dengan pelaksananya adalah Pemerintah Timor-Portugis dan Mota terpilih sebagai ketua. Tanggal 7 Mei 1975, KDT bertemu dengan koalisi UDT-Fretilin. UDT diwakili oleh Fransisco Lopez da Cruz sedangkan Fretilin diwakili oleh Fransisco Xavier du Amaral. Sedangkan sidang antara KDT dengan Apodeti dilakukan tanggal 9 Mei 1975 yang diwakili oleh Jose Fernando Osorio Soares. Tetapi sidang antara KDT dengan partai politik tidak mencapai titik temu, terutama dengan pihak Apodeti.
Tanggal 1 Juni 1975, dalam peringatan 1 tahun berdirinya Apodeti, para anggota Apodeti menaikkan bendera merah-putih di bumi Timor, sambil kemudian membacakan “Proklamasi Propinsi Kedua Puluh Tujuh Republik Indonesia”, lalu kemudian mereka meneriakkan yel-yel, “Hidup Republik Indonesia, Hidup Presiden Suharto, Hidup Apodeti”
Seiringan dengan “proklamasi” yang dibacakan oleh pihak Apodeti, koalisi UDT-Fretilin mengalami perpecahan. Aksi teror yang berlebihan yang dilakukan oleh Fretilin terhadap lawan politiknya di seluruh Timor Portugis tidak disetujui oleh pihak UDT yang mengambil jalan moderat. Anggota UDT seperti Lopez da Cruz dan Musinho memberikan penjelasan bahwa mereka ingin mencegah masuknya faham komunis secara masif di Timor Portugis.
Perundingan dekolonialisasi terus dilakukan oleh pihak pemerintah Timor-Portugis. Kali ini mengambil tempat di Makau pada 12-16 Juni 1975. Pertemuan ini diboikot oleh Fretilin, yang tidak menyetujui Apodeti ikut dalam pertemuan. Hasil utama dari pertemuan tersebut adalah Portugis akan keluar dari Timor selambat-lambatnya bulan Oktober 1979 dan tidak akan menentang Timor berintegrasi dengan Indonesia jika rakyat Timor menghendaki demikian.
Hasil keputusan Makau membuat Fretilin marah terutama terhadap Apodeti. Mereka kemudian mengutus Marie al Katiri pergi ke Mozambik untuk meminta bantuan militer negara-negara komunis seperti Vietnam Utara untuk mempersiapkan perang semesta jika nanti Apodeti menang dalam pemilihan umum. Kemarahan Fretilin pun juga diarahkan ke UDT dengan melakukan aksi intimidasi terhadap anggota-anggota UDT di luar wilayah Dili.
Aksi-aksi yang dilakukan Fretilin menimbulkan kemarahan yang luar biasa bagi anggota UDT. Tanggal 9 Agustus 1975, UDT memerintahkan mogok massal yang menyebabkan kota Dili lumpuh total. Para demonstran UDT yang berjumlah 5.000 orang berteriak dengan yel-yel anti komunis di seluruh kota Dili. Melihat gelagat yang kurang baik ini Gubernur Pires memindahkan rumah dan kantornya ke wilayah Farol yang dekat dengan pelabuhan dan Bandar udara. Fretilin kemudian mengimbanginya dengan demo-demo tandingan.
Tanggal 11 Agustus 1975, Letnan Kolonel Maggiolo Gouveia, seorang loyalis UDT, membagi-bagikan senjata kepada pihak UDT yang mana menyebabkan praktis kota Dili secara ‘militer’ ada di tangan UDT, terlihat juga orang-orang Portugis putih ikut membantu dalam menjaga keamanan. Hal ini menyebabkan pimpinan Fretelin, Xavier du Amaral dan tokoh-tokoh Fretelin lainnya lari ke luar kota Dili dan bersembunyi di gunung-gunung.
Aksi UDT bereskalasi menjadi besar dan brutal, tidak sedikit anggota Fretelin yang tewas akibat aksi ini. Akibatnya Fretilin mau tidak mau mendekati Apodeti untuk menggalang kekuatan bersama menghadapi UDT. Apodeti sendiri menerima dengan alasan merasa senasib sepenanggungan dengan nasib pribumi Fretilin yang diburu oleh anggota UDT yang mayoritas kepanjangan tangan dari pemerintah colonial Portugal.
Akhirnya dibentuklah “Komisi Tentara” yaitu front militer antara Fretilin dan Apodeti di bawah pimpinan Rogerio Lobato dibantu dengan 2 sersan Fretilin dan 2 sersan Apodeti. Mereka sepakat bahwa tema front ini adalah non politik.
Komisi Tentara behasil membalikan keadaan dan memasuki kota Dili pada tanggal 19 Agustus 1975, semua tempat berhasil dikuasai kecuali Bandar udara dan wilayah Farol yang menjadi tempat Gubernur Pires dan stafnya berada. Daerah ini masih dikuasai oleh UDT. Karena terdesak, pimpinan UDT Lopez da Cruz meminta bantuan konsulat jenderal RI di Dili, E.M.Tomodok, untuk menjadi penengah, khususnya dengan Apodeti. Namun hal ini ditolak oleh pimpinan Apodeti Osorio Soares karena perlakuan-perlakuan yang buruk UDT terhadap rakyat Timor.
Karena keadaan semakin gawat Konsulat RI di Dili mengungsikan staf dan keluarganya dengan menggunakan pesawat Merpati terakhir dengan jurusan Dili-Kupang. Konsul E.M. Tomodok tetap di Dili bersama 3 orang staf karena belum ada perintah dari Departemen Luar Negeri RI untuk meninggalkan Dili. Dan semenjak itu pula kantor konsulat RI di Dili menjadi tempat yang netral yang tidak disentuh oleh anggota Apodeti, UDT maupun Fretelin. Tidak sedikit warga Timor yang mengungsi ke kantor ini.
Uskup Martinho Costa Lopez juga mendatangi kantor Konsulat Jenderal RI untuk meminta bantuan dokter, perawat dan obat-obatan. Namun E.M.Tomodok tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Hubungan komunikasi Dili-Jakarta sudah terputus.
Arus pengungsi pun semakin membludak, sebagian besar orang Portugis dan Timor-Putih mengungsi ke pelabuhan laut, tanggal 23 Agustus 1975 sebagian pengungsi menumpang kapal “Llyod Baker” dan sebagian lagi diangkut dengan kapal “McDili” keesokan harinya. Pada tanggal 24 Agustus 1975, konsul Jenderal RI, E.M.Tomodok, diperintahkan dalam waktu 1×6 jam untuk meninggalkan Dili oleh Gubernur Pires karena ia tidak lagi dapat menjamin keamanan nyawa konsul Jenderal.
Tanggal 25 Agustus 1975, Gubernur Pires beserta seluruh stafnya dan Pasukan Elit Portugal (Para) yang mengawalnya tanpa “bertanggung-jawab” meninggalkan Timor dalam keadaan berdarah-darah menuju Pulau Atauro (Pulau Kambing). Dan dengan “minggat”nya Pires dari Timor maka secara “de facto” dan secara moral berakhirlah sejarah kolonialisme di Timor Portugis.
“Adeus Timor”, mungkin kata Pires dalam hati.
Pustaka :
Hari-hari Akhir Timor Portugis. E.M.Tomodok. Pustaka Jaya. 1994
Semoga bermanfaat

0 komentar:

Posting Komentar

 
Gudangrusak.com © 2010