Senin, 06 Februari 2012

Gatot Purwanto: Kami Saat Itu Serba Salah

TIMOR Leste dan Kolonel (Purnawirawan) Gatot Purwanto, 62 tahun, adalah dua cerita yang berkelindan. Mantan perwira Komando Pasukan Khusus ini bisa dikatakan selalu ada dalam rangkaian peristiwa berdarah di bekas provinsi ke-27 Indonesia itu. Sejak awal karier kemiliterannya, Gatot sudah bersentuhan dengan Bumi Loro Sae. Tragisnya, pengabdiannya pun berakhir di sana. 
Pada awal invasi Indonesia ke Timor Timur pada 1974-1975, Gatot bolak-balik masuk Timor Portugis, menyamar sebagai penjual bahan makanan. Wajahnya yang mirip peranakan Tionghoa, perawakannya yang ramping, dan pembawaannya yang menyenangkan, membuatnya mudah menyelinap ke mana saja. "Saya dipanggil Aseng di sana," katanya tertawa. 
Di dalam wilayah Timor, dia wira-wiri menjalin kontak dengan kekuatan politik lokal dan mengumpulkan informasi intelijen. Dia satu-satunya perwira Indonesia yang bisa masuk ke sarang Fretilin di dalam hutan, dan berbicara langsung dengan pemimpin gerilyawan Xanana Gusmao. 
Peristiwa Santa Cruz, 12 November 1991, mengakhiri kariernya yang cemerlang. Sebagai Asisten Intelijen Komando Pelaksana Operasi (Kolakops) Timor Timur, dia dinilai turut bertanggung jawab atas kegagalan militer mengantisipasi demonstrasi yang berubah rusuh kala itu. Tentara Indonesia dituduh menembak massa dengan membabi buta, menewaskan lebih dari seratus orang. Gara-gara insiden itu, Gatot diberhentikan dari dinas militer. 
Salah satu peristiwa berdarah yang membekas di ingatannya adalah penyerbuan Balibo. Gatot, yang berpangkat letnan satu ketika itu, menyaksikan bagaimana lima jurnalis dari Channel 7 dan Channel 9: Greg Shackleton, Tony Stewart, Gary Cunningham, Brian Peters, dan Malcolm Rennie, ditangkap dan ditembak. 
Kelima wartawan itu tengah meliput penyerbuan pasukan gabungan UDT dan Apodeti-dua partai rival Fretilin saat itu-yang dibantu tentara Indonesia, ke Balibo, pada Oktober 1975. "Nasib saya kok selalu terlibat dalam peristiwa berdarah di Timor Timur," kata Gatot, setengah menyesal. 
Akhir pekan lalu, setelah menonton film Balibo karya sutradara Robert Connoly, di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, Gatot memberikan kesaksiannya tentang peristiwa itu kepada Arif Zulkifli, Wahyu Dyatmika, Sunudyantoro, Yophiandi, dan Agus Supriyanto dari Tempo. 
Anda ada di Balibo tatkala kelima wartawan Australia tewas tertembak. Apa yang terjadi? 
Pertempuran saat itu belum selesai. Memang sudah agak mereda, tapi masih ada tembakan sesekali. Di pinggiran Kota Balibo, dekat gereja, sedikit di atas bukit, ada rumah-rumah gubuk. Kami menembak ke arah itu, karena memang ada tembakan dari sana. Saat makin mendekat ke arah rumah, kami temukan kelima orang ini di salah satu rumah. Jadi, ketika tertangkap, mereka belum mati.
Lalu apa yang dilakukan pasukan? 
Saya masih agak di bawah (bukit), dekat dengan Pak Yunus (Mayjen Purn. Yunus Yosfiah, saat itu kapten, komandan tim). Kami dilapori ada orang asing tertangkap. Pak Yunus memerintahkan saya untuk melapor ke Pak Dading (Letjen Purn. Dading Kalbuadi, saat itu komandan), yang ada di perbatasan. Kalau tak salah, Pak Dading lalu mengontak Jakarta, menanyakan orang-orang ini mau diapakan.
Jadi, tidak benar kelima wartawan itu terbunuh dalam kontak senjata antara pasukan TNI dan Fretilin? 
Waktu pertama kali tertangkap, mereka masih hidup. Kami kepung, lalu kami todongkan senjata. Saya melihat itu dari jarak sekitar 30 meter di bawah bukit. Mereka memang ada di (rumah) persembunyian, dan membuat film dari ketinggian situ. Sesekali ada tembakan dari arah situ juga. Sehingga kami mengarah ke sana dan mengepung rumah itu.
Apa yang kemudian terjadi? 
Situasi serba salah. Kalau ditangkap, nanti ketahuan yang menangkap tentara Indonesia. Kalau mau dieksekusi, juga bagaimana. Pada saat itulah, ketika tentara kita sudah santai, sudah duduk-duduk, mendadak ada tembakan lagi dari arah dekat situ. Mungkin ada yang mau menyelamatkan mereka (lima wartawan itu). Anggota kita langsung memberondong ke sana... pada mati semua itu wartawan.
Kapan tepatnya penembakan terjadi? 
Kami masuk Balibo ketika sudah mau fajar, subuh. Tapi, saat kejadian, sudah agak siang, mungkin pukul 10-11 pagi.
Ketika penembakan terjadi, apa ada perintah dari Yunus Yosfiah atau Dading Kalbuadi? 
Belum. Dari komandan tim, Pak Yunus, belum ada perintah untuk membunuh atau diapakan mereka. Pak Dading masih menunggu petunjuk dari Jakarta. Komunikasi saat itu kan butuh waktu cukup lama. Jadi penembakan terjadi setelah kami terpancing, akibat ada provokasi tembakan dari arah rumah tempat mereka bersembunyi.
Apakah ada proses identifikasi terhadap kelima wartawan? Ditanya namanya siapa, dan seterusnya.... 
Tidak. Karena mereka tak ada yang bisa berbahasa Indonesia, sementara pasukan di lapangan juga tak bisa berbahasa Inggris.
Tapi tentara tahu atau tidak bahwa mereka wartawan? 
Sepatutnya tahu. Karena mereka membawa kamera dan peralatan lain. Dari jarak dekat, seharusnya semua itu terlihat. Penembakan terjadi dari jarak kira-kira 15 meter.
Sebelum masuk Balibo, apakah pasukan tahu di kota itu ada lima wartawan asing? 
Tidak tahu. Makanya kami jadi bingung saat mereka tertangkap. Mereka ini mau diapain.
Lalu apa yang terjadi setelah penembakan? 
Pak Dading datang ke lokasi. Lalu ada wartawan TVRI, Hendro Subroto. Pak Dading bicara dengan komandan saya, Pak Yunus.
Bagaimana suasana pasukan saat itu? Apakah pelaku penembakan ini dipersalahkan karena bertindak tanpa perintah atau bagaimana? 
Mungkin suasananya serba salah bagi kami. Kalau mereka tetap kami tahan, tidak dieksekusi, begitu keluar, mereka bisa berteriak, "Betul itu, yang menangkap saya orang Indonesia." Itu bisa jadi bukti. Maka mungkin sulit membuat keputusan saat itu. Mungkin, saat itu, dari atas dinilai itu (penembakan) jalan terbaik. Saya tidak tahu persis. Kalau tak dieksekusi, mereka bisa memberikan kesaksian bahwa betul ada invasi tentara Indonesia.
Jadi penembakan itu sebuah keputusan rasional? 
Iya.... Tapi juga ada provokasi berupa tembakan-tembakan. 
Tembakan-tembakan itu menambah tekanan pada pasukan di lapangan untuk mengambil keputusan dengan cepat? 
Iya. Apalagi belakangan ada sepucuk senjata Thompson yang ditemukan di rumah itu. Tergeletak di antara mereka (kelima wartawan). 
Lalu apa yang dilakukan selanjutnya? 
Jenazah kelima wartawan ini dibawa ke rumah Cina di dalam Kota Balibo, sekitar 300 meter dari lokasi penembakan. Lokasinya agak masuk ke kota. Rumahnya terbuka begitu. Kemudian di sana, jenazah dibakar dengan sekam, bekas gabah.
Kenapa harus pakai sekam? 
Iya, karena baranya lama. Jadi dibakar sampai hancur dan betul-betul habis (jenazahnya). Itu perlu dua hari. Ada pakai kayu bakar juga.
Mengapa jenazah harus dibakar? Bukannya itu malah menambah kesan pasukan berusaha menutupi jejak penembakan? 
Karena memang serba salah saat itu. Kami menjaga agar keterlibatan tentara Indonesia ketika itu jangan sampai terbuka. Karena itu, kami masuk tak berpakaian seragam, secara tertutup, preman. Makanya mungkin pernah dengar, ada yang namanya pasukan blue jeans. Rambut kami gondrong, panjang-panjang.
Siapa yang memerintahkan dibakar? 
Yah, memang ada keputusan dari ini... (bergumam tidak jelas). Saya tak tahu persis, saya cuma perwira muda waktu itu. Tapi posisi kami serba salah. Kalau dibiarkan hidup, mereka akan bilang ini invasi Indonesia. Kalau mati dan dibiarkan, akan ada bukti kalau mereka tertembak di wilayah yang dikuasai gerilyawan Indonesia. Untuk gampangnya, kita hilangkan saja. Kita bilang kita tak tahu apa-apa. Itu reaksi spontan saat itu.
Selain pasukan TNI, siapa lagi yang ada di Balibo saat itu? 
Yang masuk saat itu bukan cuma Tim Susi (tim perintis), tapi sudah gabungan dengan partisan Apodeti dan UDT yang pro-Indonesia. Ada tokoh Apodeti, Thomas Gonzalves; dan tokoh dari UDT, Joan Tabarez. Perbandingan jumlah kami dengan Apodeti dan UDT waktu itu sekitar satu banding dua. Kami berlima puluh, mereka seratusan.
Pada saat penyerbuan, ada bantuan dari kapal perang Indonesia? 
Saya kira ada, memang saat kita masuk Balibo, kami dibantu tembakan dari kapal kita di laut.
Mengapa Balibo yang diserbu pertama kali? 
Balibo bukan yang pertama. Kami sudah masuk cukup jauh ketika itu, tapi kami sesekali terdesak mundur lagi, lari ke Haikesak (desa kecil di dekat perbatasan dengan Indonesia), mundur ke Atambua. Setelah mendapat perkuatan dari UDT dan Apodeti, kami masuk lagi. Pasukan sudah dipersiapkan pada akhir 1974. Seharusnya saat itu kami sudah masuk sampai Dili, menyiapkan dropping zone dan penunjang lain untuk penyerbuan pasukan besar. Misalnya menanam amunisi di daerah tertentu.
Bagaimana situasi Kota Balibo ketika Anda masuk? 
Balibo itu kota kecil, dengan beberapa bangunan sederhana. Ada empat-lima rumah batu, tapi yang besar cuma satu itu saja: tokonya orang Cina. Ada juga rumah untuk pusat layanan kesehatan. Di banyak daerah perbatasan dengan Indonesia, di Timor bagian barat, seperti Balibo dan desa-desa di dekatnya, sebetulnya ada lebih banyak simpatisan Apodeti. Orang-orangnya lebih pro-Indonesia. Lain dengan ujung timur sana, yang memang tak terjamah pasukan kita dan dikuasai Fretilin.
Ketika bertugas di Timor Timur, kabarnya Anda menjalin hubungan dekat dengan Xanana Gusmao? 
Saya mulai mendekati Xanana setelah operasi pagar betis yang dilakukan pada zaman Pak Sahala (Letjen Purnawirawan Adolf Sahala Rajagukguk, terakhir Wakil Kepala Staf TNI AD) pada 1981. Setelah operasi itu, TNI yakin Fretilin sudah porak-poranda dan dilaporkan sudah hancur. Akhirnya semua anggota pasukan Kopassus TNI ditarik dari Timor, disisakan hanya dua kompi, hanya Nanggala 51 dan 52.
Setelah pasukan Indonesia ditarik, mereka melakukan konsolidasi dan menyerang lagi. Saya nungging terus setiap malam. Saya lalu berpikir, kalau tiarap terus begini bagaimana. Akhirnya saya membuka kontak komunikasi dengan Xanana. Dia menyambut. Buat Xanana juga, mungkin ada baiknya, karena saat itu dia sudah mulai memikirkan jika penyelesaian perang ini bisa dengan jalan politik, kenapa tidak. Itu pada 1982-1983. 
Apa yang dikatakan Xanana? 
Awalnya dia formal sekali. Kami berbicara dalam bahasa Tetum. Dia selalu menekankan kepada saya: Indonesia tak akan kuat mendanai perang di Timor terus-menerus.
Hubungan itu berlanjut? 
Ya, kami cukup dekat sampai sekarang. Kami sering kontak-kontakan. Sejak di hutan, saya satu-satunya perwira Kopassus yang bisa bertemu dia. Jadi sekarang, kalau Timor membutuhkan alat intelijen, saya bantu. Pernah sekali, Xanana minta bantuan saya untuk mensterilkan ruang kerjanya.
Beralih ke film Balibo. Apa kesan Anda setelah menyaksikannya? 
Dari awal sampai tengah-tengah (alur film) sebenarnya cukup berimbang. Film itu juga menyalahkan pemerintah Australia, Amerika Serikat, dan Inggris, yang merestui perang di Timor itu. Tapi kejadian-kejadian intinya, seputar penembakan kelima wartawan ini, terlalu didramatisasi, dibumbui. Tak ada yang disiksa. Adegan penyerbuan TNI yang masuk ke Dili juga tak seheboh itu.
Bagaimana pendapat Anda tentang tuntutan mengungkap dan mengadili pelaku kasus Balibo? 
Apakah tidak sudah terlalu lama? Pelakunya pun sudah uzur semua. Apalagi sekarang persoalannya bukan dengan Timor Leste.
Anda termasuk yang menentang referendum di Timor Leste? 
Saya pikir itu keputusan yang tergesa-gesa.
Apakah Anda merasa proses integrasi Timor Timur 1975-1999 adalah ikhtiar yang sia-sia? 
Begini: pada saat itu, komunis sedang kuat-kuatnya di Portugal. Semua daerah jajahannya, yang mau dilepaskan, juga ada pengaruh komunis yang kuat. Maka tak terlalu salah kalau Australia, Amerika Serikat, pada saat itu ngojok-ngojokin (mendorong) Indonesia untuk mengambil alih. Saat itu juga ada konteks Perang Dingin.
Tapi Indonesia memang gagal memenangkan hati rakyat di sana? 
Ketika itu Timor Timur adalah tempat buangan orang-orang birokrat yang dianggap tak becus. Sampai di Timor, tanpa ada pengawasan, para kepala kantor wilayah ini malah menjadi raja-raja kecil. Soal rekrutmen, mereka nepotis: tak mau ambil penduduk setempat, dan memilih mempekerjakan sanak saudaranya dari Jawa. 

Majalah Tempo, 07 Desember 2009. 
Sourse: http://majalah.tempointeraktif.com/

0 komentar:

Posting Komentar

 
Gudangrusak.com © 2010