Senin, 06 Februari 2012

Biar Susah, Merdeka itu Nikmat

GRAFITI itu tertoreh di sisa tembok depan sebuah toko yang hangus terbakar di tengah Kota Dili: ”Emangnya enak merdeka!” Besar kemungkinan dituliskan oleh milisi prointegrasi, grafiti itu seperti ingin meledek situasi Timor Timur sekarang. Belum setahun lepas dari Indonesia, Timor Timur (warga setempat menyebutnya Timor Loro Sa’e atau Timor Leste) memang belum bisa berdiri di atas kaki sendiri. 
Dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 431, negeri baru ini bahkan masuk kategori negara sangat miskin menurut standar internasional (minimum US$ 600). Lebih dari itu, wajahnya compang-camping. Sekitar 70 persen infrastruktur akibat kerusuhan pascajajak pendapat Agustus 1999 lalu membuat proses rekonstruksi dan rehabilitasi tak bisa sebentar. 
Sempat menjadi provinsi Indonesia yang dimanjakan, Timor Timur kini praktis harus memulai dari nol. ”Kami belum pernah punya pengalaman sebagai sebuah negara. Jadi, wajar kalau masih butuh arahan,” kata Presiden Gerakan Perlawanan Nasional Rakyat Timor Timur (CNRT), Xanana Gusmao, ketika ditemui TEMPO di Dili, Februari lalu. 
Sang pengarah tak tanggung-tanggung: Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur atau UNTAET. Dibentuk pada Oktober 1999, UNTAET memegang mandat Dewan Keamanan PBB di New York untuk membantu rakyat mendirikan perangkat kenegaraan yang esensial, dari hukum, administrasi pemerintahan, mata uang, sampai bahasa resmi. 
Dalam menata kembali perekonomian di sana, UNTAET tak sendirian. Desember lalu, bersama Bank Dunia, PBB menyelenggarakan konferensi donor untuk Timor Timur di Tokyo. Hasilnya, lebih dari US$ 520 juta (sekitar Rp 4 triliun) bakal dikucurkan negara-negara donor untuk dua tahun masa transisi. Dan meski koordinasi antarmereka tak semulus yang diharapkan, puluhan LSM asing dan lokal ikut pula berkiprah membagi makanan dan obat-obatan atau membantu membangun kembali fasilitas umum yang rusak. 
Tahun 2002, Timor Timur diharapkan bisa disapih. ”Kehadiran PBB di sini bukan untuk menciptakan ketergantungan rakyat Timor Loro Sa’e pada kami,” kata Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, tegas, ketika berkunjung ke Dili belum lama ini. 
Rakyat Timor Timur sendiri memang tak ingin disuapi terus-terusan. ”Kalau begitu nantinya, berarti takdir kami ini memang untuk terus berjuang,” kata Altide Cassanova, jebolan Universitas Gadjah Mada yang memilih pulang kampung untuk membangun pers Timor Timur, ”Dulu melawan Portugal, lalu Indonesia, dan sekarang UNTAET.” Sekadar bercanda, memang, tapi kekhawatirannya tak dibuat-buat. 
Semudah itukah pelaksanaannya? Pemandangan di Dili saat ini bisa saja dilihat sebagai sebuah kisah sukses. Kota yang gosong dibakar milisi dan sempat mati ditinggal pengungsi itu kini sudah aktif kembali. Jam malam, yang diberlakukan saat kerusuhan September lalu, sudah tidak ada. Razia senjata rutin yang dilakukan pasukan International Force for East Timor (Interfet), dan kini pasukan perdamaian PBB, membuat warga tak lagi ”deg-degan” di rumah dan di jalan. 
Aliran listrik sudah tersedia kembali. Begitu juga air bersih dan saluran telepon lokal. Kecuali ongkos pasang kabel telepon sebesar Rp 250 ribu, semuanya gratis. Angkutan umum milik warga sudah berseliweran. Angkot ada, taksi juga tersedia. Yang belakangan, tarifnya jauh dekat Rp 5.000. 
Taksi-taksi ini tak ada yang mengorganisasi, sopirnya biasanya pemiliknya sendiri. Mereka membeli sedan-sedan bekas yang memang banyak diimpor dari Singapura dan Australia. Orang Indonesia boleh iri. Mobil-mobil bekas itu dijual supermurah di Dili. Untuk sedan berukuran sedang seperti Mazda, Honda, dan Toyota, harganya rata-rata Rp 20 juta. Sedan mewah seperti BMW dan Volvo dijual lebih mahal, sekitar Rp 34 juta. Sedan-sedan ini laku bak tabloid gosip. Tak ada pajak, tak ada registrasi yang terlalu macam-macam. Tinggal bayar, mobil bisa dibawa pulang. Jangan heran kalau pelat nomor mobil-mobil di Dili bervariasi sesuai negara pemilik asalnya. Pelat mobil Indonesia juga ada. Tidak repot-repot, semua oke saja. 
Pasar Mercado, yang sempat terbakar, sudah ramai. Pedagang sayur, buah, daging, dan ikan bercampur-baur dengan pedagang kelontong, pakaian, dan aneka kebutuhan sehari-hari yang didapat dari perbatasan Timor Barat. Indikasi mulai normalnya kehidupan di Dili, kata Azina Gusmao—tak ada hubungan kerabat dengan Xanana—adalah turunnya harga-harga. Waktu ibu empat anak ini baru kembali dari mengungsi, Oktober lalu, seikat kangkung masih Rp 50 ribu. Sekarang, dua ikat Rp 5.000. Dulu, 1 kilogram deterjen bubuk dihargai Rp 100 ribu, sekarang Rp 15 ribu. Suplai barang dagangan memang sudah lebih mudah didapat. Para pedagang biasa patungan menyewa mobil untuk ramai-ramai ke perbatasan—kira-kira enam jam dari Dili—satu-dua minggu sekali untuk berbelanja. 
Laku? Lumayan. Lagi pula, dari mana lagi warga Dili bisa mendapatkan kebutuhan sehari-hari kalau tidak dari pasar? Jatah bantuan bahan pokok dari LSM kan tidak termasuk sampo atau minyak goreng. Manuel da Silva, yang menjual segala kebutuhan sandang mulai jins, seprai, sampai pakaian dalam, mengaku bisa menjual dagangan senilai Rp 100 ribu per hari. ”Waktu menjelang Natal dan Tahun Baru, saya bisa bawa pulang Rp 400 ribu per hari,” tuturnya. Memang tidak banyak betul, tapi katanya itu lebih baik daripada cuma menadahkan tangan mengemis bantuan LSM. 
Warga juga cukup kreatif membidik sumber penghasilan. Banyak yang mendirikan warung-warung makan di sepanjang pantai Kota Dili. Ikan atau jagung bakar boleh disantap para staf UNTAET atau LSM yang punya kecenderungan berpetualang dalam hal makanan. Dan buat staf bule yang kangen kentang goreng dan roti panggang, restoran yang menyediakan makanan barat juga bermunculan. Harganya untuk kantong warga asli lumayan mahal, sepiring burger dihargai US$ 5 atau Rp 35 ribu (kurs 1 dolar AS di Dili dipatok Rp 7.000). 
Jadi, dengan segala indikator positif itu, sudah ”normal”-kah Timor Timur? Masih jauh. Seperti kata Xanana kepada TEMPO, ”Timor Timur bukan republik warung.” Maksudnya, kemunculan usaha-usaha partikelir tadi memang bagus, tapi bukan berarti Timor Timur sudah siap menjadi sebuah negara. Untuk menyelesaikan pembangunan fisik saja, satu-dua tahun tak kan cukup. 
Di Dili, bangunan yang selamat dari pembakaran dan perusakan bisa dihitung dengan jari tangan dan kaki. Itu pun pasti dijarah. Lainnya, banyak yang tinggal puing-puing seperti bank, toko-toko di tengah kota, dan Hotel Mahkota yang terkenal itu. Bangunan yang lebih ”beruntung” biasanya cacat di sana-sini. Gara-gara banyak gedung sekolah yang atapnya bolong, anak-anak terpaksa belajar di dalam kelas beratapkan langit. Jangankan gedung untuk kepentingan umum, rumah pribadi saja terbatas jumlahnya. Sisa-sisa rumah yang ada biasanya ditempati lebih dari satu keluarga. 
Dalam penyediaan fasilitas umum, Dili sudah jauh lebih beruntung ketimbang wilayah lain. Di Maliana, Suai, Baucau, Same, Lospalos, dan Liquica, generator dieselnya sering rewel atau suplai bahan bakarnya tak mencukupi. Akibatnya, listrik masih byar-pet. Ditotal-total pun, baru seperempat wilayah Timor Loro Sa’e yang mendapat jatah listrik. Yang lain pakai cahaya bulan saja. Di Dili, setidaknya satu keran air di setiap rumah sudah mengalir. Di wilayah lain, penyediaan air bersih hanya ada di tempat-tempat tertentu. Telekomunikasi? Boro-boro. Para staf UNTAET dan LSM yang menyebar di luar Dili sepenuhnya mengandalkan telepon selular yang memakai jaringan Australia. 
Itu baru hambatan fisik. Kekurangan nonfisik tak lebih baik. Sekitar 80 persen dari 600 ribu warga Timor Timur (belum termasuk 150 ribuan yang masih tertinggal di kamp pengungsi di Nusatenggara Timur) masih menganggur. Dan itu salah satu faktor penyebab tingkat kriminalitas agak meningkat beberapa bulan belakangan. Sektor pertanian, yang diharapkan bakal menyokong mayoritas rakyat Timor Timur, belum 100 persen hidup kembali. 
Sementara itu, UNTAET dan LSM-LSM yang ada cuma mampu menyerap 3000-an warga yang berpendidikan dan mampu berbahasa Inggris. Lebih dari separuh populasi masih buta huruf. Padahal, untuk membangun negara, Timor Timur butuh tenaga-tenaga terampil dan terdidik. Itu mungkin salah satu alasan Timor Timur yang bakal jadi republik ini bertekad punya birokrasi yang ramping, cuma 7.000 orang. 
Untuk mempersiapkan berdirinya republik, Timor Timur kini sudah memiliki Dewan Konsultasi Nasional (DKN). Dewan ini berfungsi sebagai wadah partisipasi rakyat, terutama dalam pembuatan berbagai kebijakan di masa transisi. DKN, yang beranggotakan 15 orang—tujuh dari CNRT, satu dari Gereja Katolik, tiga dari kelompok pro-otonomi, dan empat dari UNTAET—otomatis bubar ketika UNTAET menyerahkan tongkat pemerintahan ke tangan rakyat Timor Timur nanti (yang akan diawali dengan pelaksanaan pemilu). 
Kinerja DKN bukan tanpa kritik. Keputusan mereka untuk memilih bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan dolar AS sebagai mata uang resmi sempat kontroversial. Banyak orang Timor Timur yang lebih suka bahasa Tetun atau Inggris dijadikan bahasa resmi (keduanya, plus bahasa Indonesia dijadikan bahasa nasional). Selain itu, lantaran sudah terbiasa, banyak yang lebih suka pakai rupiah. Kata Lino de Jesus Torrezao, Staf Administrasi CNRT, kepada Dwi Wiyana dari TEMPO, bahasa Portugis dipilih DKN karena lebih berwarna Timor Timur. ”Kalau pakai bahasa Inggris, kami tidak punya identitas,” tuturnya. 
Tidak jelas kenapa bukan bahasa Tetun yang dipilih. Untuk masalah mata uang, sampai Timor Timur punya sendiri, dolar AS-lah yang resmi dipakai karena nilainya paling stabil dibandingkan dengan mata uang lainnya. Tapi, untuk transaksi sehari-hari, dolar Australia, escudo Portugal, dan rupiah masih bisa diterima. 
Kritik yang menghujat kurang komunikatifnya DKN bukan tak diakui. Persoalannya, kata juru bicara UNTAET, Manuel Almeida, lebih banyak pada logistik. Jaringan radio dan televisi sudah hancur. Beberapa transmisi radio sudah diperbaiki, tapi warga yang punya pesawat penerima sedikit sekali. Sekarang, UNTAET membagikan leaflet, dengan harapan mereka yang bisa membaca mau meneruskan informasi kepada yang tidak. Solusi lainnya, dengan memperbanyak pertemuan dengan komunitas-komunitas lokal. 
Merusak yang sudah ada memang jauh lebih mudah ketimbang membangun dari nol. Dan susahnya, negeri ini mewarisi puing-puingnya. Toh, optimisme terasa kental tercermin dari ucapan dan sikap warga di sana. Suami Azina, Angelo, yang pernah tiga tahun sembunyi di hutan pada masa awal pendudukan Indonesia dulu, cuma tersenyum ketika membaca grafiti di puing-puing toko itu. ”Beratus-ratus tahun nasib orang Timor Timur ditentukan orang lain. Ketika akhirnya merdeka, sesusah apa pun masih terasa nikmat,” katanya. Seperti gelas setengah kosong atau setengah penuh, itu semua tergantung pada yang melihat. 
Wendi Ruky (Dili), Majalah Tempo. 

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/ 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Gudangrusak.com © 2010